BOOKING TIKET PESAWAT

feminisme dalam Islam

feminisme dalam Islam. Info sangat penting tentang feminisme dalam Islam. Mengungkap fakta-fakta istimewa mengenai feminisme dalam Islam

Pernah mendengar tentang gerakan feminisme dalam Islam. Gerakan ini bertujuan untuk memulihkan hak-hak para wanita sebagai anggota masyarakat. Menurut beberapa literatur, pemulihan hak-hak para wanita muncul pada abad ke-7 atau pada jaman Nabi Muhammad karena memulihkan hak para wanita memang merupakan bagian dari ajaran Islam. Menurut situs ensiklopedia online (Wikipedia.org), gerakan feminisme dalam Islam inilah yang kemudian mengilhami berkembangnya gerakan feminisme global seperti yang terjadi di Eropa hingga ke belahan dunia lainnya.

Sejarah memang telah membuktikan bahwa gerakan feminisme memang bersumber dari Islam. Setidaknya ada tujuh orang wanita yang pernah menjadi kepala negara yang mayoritas penduduknya menganut ajaran Islam. Mereka adalah Benazir Bhutto (Pakistan), Mame Madior Boye (Senegal), Tansu Çiller (Turki), Kaqusha Jashari (Kosovo), Megawati Sukarnoputri (Indonesia), Khaleda Zia (Bangladesh), dan Sheikh Hasina (Bangladesh).

Jika di Indonesia ada RA. Kartini yang sudah menjadi penggerak persamaan hak bagi wanita (emansipasi) pada abad ke-19, kemunculan tokoh seperti beliau malah begitu terlambat di negara Sudan. Mungkin Anda pernah mendengar nama Lubna Ahmed al-Hussein. Jika belum, Anda bisa membaca kisahnya dibawah ini.

CELANA PANJANG VS KEBEBASAN DI SUDAN

Seorang wanita Sudan menarik perhatian media internasional, setelah dia diadili atas dakwaan mengenakan busana yang dinilai tidak pantas di tempat umum.

Dalam suatu razia, polisi menahan Lubna Ahmed al-Hussein yang bercelana panjang saat berpesta di sebuah restoran. Perkara ini berlanjut ke pengadilan dan memicu debat mengenai kebebasan, norma adat dan keagamaan.

Pada hari pertama kasus tersebut disidangkan, massa pendukung Lubna Ahmed al-Hussein berkumpul di luar gedung pengadilan di Khartoum. Mereka mememekikkan semboyan kebebasan. Sekretaris jenderal Persatuan Wanita Sudan, Doktor Ihsan Fagiri, mengatakan, dia ikut berdemo untuk menyoroti perlunya kebebasan yang lebih longgar bagi masyarakat Sudan.

Seorang pendukung lain Lubna al-Hussein, aktivis HAM Sudan Doktor Nahid Tobia nekat mengambil risiko dengan mengenakan celana panjang ke pengadilan. "... andai saja bisa menentukan, saya akan haruskan semua orang mengenakan celana panjang," kata Nahid.

Doktor Nahid Tobia mengakui orang-orang seperti dirinya memang memiliki posisi yang lebih kuat daripada banyak wanita lain di Sudan. "Sayangnya, Lubna atau saya sendiri dan orang-orang seperti kami mendapat perlindungan hingga kadar tertentu," ujarnya.

Doktor Nahid Tobia mencontoh penuturan seorang wanita yang bekerja sebagai pembersih di rumahnya. Wanita itu biasa mengenakan jubah hitam, seperti wanita di Arab Saudi, katanya. "Lalu, saya kepada dia 'mengapa kamu mengenakan pakaian ini?', dan dia mengatakan, 'karena jika saya berjalan dengan mengenakan celana panjang, mereka akan menahan saya. Petugas akan mencoba meminta saya membayar seratus dollar. Dan, jika saya tidak membayar, mereka akan mencambuk kami'," tutur Nahid.

Memilih pasrah

Lubna al-Hussein ditahan di sebuah restoran bulan Juli. Ada 12 wanita lain yang juga mengenakan celana panjang seperti dirinya. Sepuluh orang wanita yang ditahan memilih pasrah dan langsung menerima sanksi 10 cambukan. Sedangkan, al-Hussein dan dua wanita lain memilih melawan di pengadilan. Dan, mantan wartawan itu kemudian didakwa melanggar pasal 152 kitab hukum pidana Sudan. Pasal tersebut melarang orang berbusana "tidak pantas" di tempat umum.

Pada awalnya, kasus terhadap Lubna al-Hussein bergantung pada apakah hakim menyatakan pengadilan bisa mengadili dia, seperti dijelaskan wartawan BBC di Sudan, James Copnall. "Pada saat pelanggaran terjadi, menurut pengadilan Sudan, Lubna Hussein dipekerjakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan dengan demikian semestinya mendapat kekebalan diplomatik, dan tidak akan bisa dituntut," katanya. Namun, Lubna memutuskan mengundurkan diri dari posnya di PBB agar bisa menghadapi kasus ini. "Dia bertekad untuk menantang undang-undang. Dia bertekad untuk mengubah undang-undang," tambahnya.

Menjelang sidang, Lubna al Hussein berhasil mengubah pengadilan terhadap dirinya sebagai forum kampanye publik. Dengan memanfatkan jaringan kontaknya, Lubna yang pernah menjadi wartawan berhasil mengundang wartawan untuk hadir dan meliput sidangnya.

Isu kebebasan

Menurut wartawan BBC James Copnall, perkara Lubna al-Hussein mengundang reaksi keras dari berbagai pihak di dalam Sudan. "Ini benar-benar menjadi uji kasus bagi hak kaum wanita di Sudan, dan perkara ini benar-benar membuat pendapat publik di sini terpecah-pecah," katanya.

Bagaimana pun Lubna Ahmed al-Hussein akhirnya dinyatakan melanggar hukum. Namun, dia tidak dihukum 40 kali cambukan. Sebagai sanksi, dia kemudian mendapat pilihan membayar denda atau menghuni sel penjara selama satu bulan.

Meski vonis telah keluar, perkara Lubna ini mencerminkan benturan antara nilai Islami dan tradisional Sudan dan gagasan kebebasan seperti yang diyakini Lubna al-Hussein.

Norma adat dan norma keagamaan memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat Sudan, kata Auzai Mahfudz, mahasiswa Indonesia yang tengah merampungkan program master di bidang ilmu hadis di Omdourman, Sudan.

Kasus Lubna Hussein memang sudah selesai di ruang sidang. Namun, banyak aktivis yakin, debat mengenai hak atas kebebasan bagi wanita dan nilai-nilai tradisional di Sudan masih akan berlanjut.


BOOKING TIKET PESAWAT
Powered By : Blogger